Hukum Pidana Bagi Anak
di Bawah Umur
A. PENDAHULUAN
Anak
adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah.
Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena
seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam
pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian anak
yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak yang telah
mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
Arus
Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak.
Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang
berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui
satelit dan meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara
lain semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya
jumlah orang yang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat
mempengaruhi kehidupan anak-anak.
Sejak
dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy para
anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas kriminal
dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran
baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.
Arah
kebijakan hukum betujuan menjadikan hukum sebagai aturan yang memberikan
perlindungan bagi hak-hak warga negara dan menjamin kehidupan generasi dimasa
depan. Oleh karena itu, sistem hukum tiap negara dalam praktiknya terus
mengalami modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya.
Contohnya negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala
bidang, diantaranya perubahan bidang hukum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran
baru untuk mereformasi hukum yang ada saat ini.
B. PEMBAHASAN
1. Hukum Bagi Anak di Bawah Umur
Pemberian hukuman atau sanksi dan proses hukum yang
berlangsung dalam kasus pelanggaran hukum oleh anak memang berbeda dengan kasus
pelanggaran hukum oleh orang dewasa, karena dasar pemikiran pemberian hukuman
oleh negara adalah bahwa setiap warga negaranya adalah mahkluk yang
bertanggungjawab dan mampu mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Sementara anak diakui sebagai individu yang belum dapat secara penuh
bertanggungjawab atas perbuatannya. Oleh sebab itulah dalam proses hukum dan
pemberian hukuman, (sebagai sesuatu yang pada akhirnya hampir tidak dapat
dihindarkan dalam kasus pelanggaran hukum), anak harus mendapat perlakuan
khusus yang membedakannya dari orang dewasa.
Di Indonesia, penyelenggaraan proses hukum dan
peradilan bagi pelanggaran hukum oleh anak sudah bukan lagi hal baru. Tetapi
karena sampai saat ini belum ada perangkat peraturan yang mengatur mengenai
penyelenggaraan peradilan anak secara menyeluruh, mulai dari penangkapan,
penahanan, penyidikan, dan pemeriksaan di persidangan, sampai dengan sanksi
yang diberikan serta eksekusinya, maka sampai saat ini pelaksanaannya masih
banyak merujuk pada beberapa aturan khusus mengenai kasus pelanggaran hukum
oleh anak dalam KUHP dan KUHAP, serta pada Undang-Undang No.3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (UU Pengadilan Anak). Selain itu, pelaksanaan proses
peradilan bagi anak juga harus mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah
diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 (Konvensi Hak Anak),
dimana sedikit banyak telah diakomodir dalam UU Pengadilan Anak.
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam UU
Pengadilan Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak
yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dapat
dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada
organisasi sosial, atau diserahkan kepada Negara, sedangkan terhadap anak yang
telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun
dijatuhkan pidana. Dalam kasus, karena anak tersebut berumur 14 (empat belas)
tahun maka sanksi yang dijatuhkan dapat saja berupa pidana.
Namun pada hakekatnya, segala bentuk penanganan
terhadap anak yang melanggar hukum harus dilakukan dengan memprioritaskan
kepentingan terbaik untuk si anak. Oleh karena itu, keputusan yang diambil
Hakim (apabila kasus diteruskan sampai persidangan) harus adil dan
proporsional, serta tidak semata-mata dilakukan atas pertimbangan hukum, tapi
juga mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti kondisi lingkungan sekitar,
status sosial anak, dan keadaan keluarga. Hal-hal ini dijamin serta diatur
dalam UU Pengadilan Anak. Misalnya adalah pada saat polisi melakukan
penangkapan dan pemeriksaan, ia wajib untuk menghubungi dan mendatangkan
seorang petugas Bapas (Balai Pemasyarakatan, biasa juga disebut PK atau Petugas
Kemasyarakatan). Petugas Bapas berfungsi hampir sama seperti probation officer.
Polisi wajib menyertakan hasil Litmas (Penelitian Kemasyarakatan) yang dibuat
oleh petugas Bapas dalam Berita Acara Pemeriksaannya. Tanpa Litmas, Jaksa harus
menolak BAP dan meminta kelengkapannya kembali. Litmas ini berisi tentang latar
belakang anak secara keseluruhan, seperti data diri, keluarga, sekolah, dan
lingkungan sekitar, sampai dengan latar belakang kasus, seperti kronologi
kejadian, motif, gambaran mengenai seriusitas kasus, kondisi tersangka, dll.
Litmas juga berisi kesimpulan petugas Bapas tentang
kasus yang bersangkutan dan rekomendasi mengenai disposisi (untuk kasus dewasa
disebut vonis) apa yang terbaik bagi anak. Rekomendasi yang bisa diberikan
mulai dari kembali ke orang tua, pidana bersyarat, pidana dengan keringanan
hukuman, pidana sesuai perbuatan, anak negara, dan anak sipil.
Dalam kasus ini, jika anak ditahan sebaiknya segera
ditanyakan apakah ia telah ditemui oleh seorang petugas Bapas. Dan apakah
padanya telah diberikan haknya untuk tetap memperoleh penasehat hukum, karena
petugas Bapas bukanlah seorang penasehat hukum. Harus diingat, anak berhak
memperoleh dan negara wajib memberikan proses hukum yang cepat.
Apabila pihak korban akan menarik tuntutannya,
penyelesaian di luar proses hukum sangat mungkin untuk dilakukan karena petugas
hukum, dalam hal ini polisi, yang terlibat dalam proses peradilan anak diberi
keleluasaan untuk melakukan diskresi (sewaktu-waktu menghentikan proses hukum)
demi kepentingan anak. Apabila polisi menolak diskresi, sanksi pidana berupa
penjara atau rehabilitasi institusional masih dapat diupayakan untuk diganti
dengan program pembinaan di luar lembaga, kompensasi, atau restitusi bagi
korban, yang bisa diupayakan melalui jalur hukum. Selama proses hukum
berlangsung, pihak orang tua atau wali juga dapat meminta agar anak diberi
tahanan luar dengan memberikan jaminan. Dalam kasus anak, tahanan luar juga
dipertimbangkan mengingat anak masih harus bersekolah.
Belum adanya peraturan yang menyeluruh tentang
sistem peradilan anak sebagaimana disebutkan pada bagian awal membawa implikasi
pada belum adanya polisi khusus anak dan jaksa khusus anak. Yang ada barulah
hakim anak, sidang anak, dan lembaga pemasyarakatan anak. Keterbatasan sistem
hukum kita memandang masalah tindak pidana oleh anak hanya pada urusan
pengadilan anak, menyebabkan pertimbangan yang digunakan oleh petugas yang
terlibat masih merupakan pertimbangan? hukum' semata, yang mendasarkan
keputusannya pada apakah si anak bersalah atau tidak sebagai pelanggar hukum,
tingkat seriusitas perbuatannya, dan catatan kriminal yang dimilikinya. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan jika sampai saat ini terdapat kenyataan yang
memprihatinkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran hukum oleh anak yang
ditangani polisi, diteruskan ke dalam proses pidana selanjutnya, dan sebagian
besar dari kasus yang diproses tersebut berakhir dengan keputusan pemenjaraan,
dimana seharusnya kedua hal tersebut menjadi alternatif upaya yang paling
terakhir.
2. Proses Peradilan Pidana Anak Nakal
Di dalam menangani anak yang bermasalah dengan
hukum, Penangkapan anak dilakukan sesuai dengan KUHAP dan untuk anak maksimal 1
hari. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penahanan terhadap anak paling
lama 20 hari dan dapat diperpanjang 10 hari. Penyidik, Jaksa,dan Hakimnya juga
khusus, (mendapat SK Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Mahakamah Agung).
Sudah berpengalaman sebagai Penyidik, penuntut umum,
dan Hakim, dalam kasus tindak pidana
orang dewasa dan mempunyai minat, perhatian, dedikasi serta memahami
masalah anak(pasal 9, 41, 53 UU No. 3 Peradilan anak).
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana
kekeluargaan. dan wajib meminta saran dari Pembimbing Kemasyarakatan jika perlu
dari Ahli Agama, Psikiatri dll (pasal 42 UU No. 3 Tahun 1997).Anak nakal berhak
mendapat bantuan satu orang atau lebih
penasihat hukum pada setiap tingkat pemeriksaan.
3. Bagaimana
Pembinaan Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum.
Pembinaan terhadap
anak yang terlanjur melakukan tindak pidana merupakan tanggung jawab semua
pihak. Orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memperbaiki kondisi
anak yang sudah terlanjur masuk ke dalam proses hukum. Masyarakat berkewajiban
mengontrol perbaikan anak sehingga tidak mengulangi tindakan kriminal lagi atau
menjadi kriminal kambuhan. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan yang sudah
berpengalaman dalam menangani permasalahan sosial cukup efektif untuk menjadi
tempat pemidanaan dan pemulihan anak setelah terlanjur terjerumus kedalam
perilaku kriminal sebelumnya. Lembaga-lembaga sosial dan kemasyarakatan
tersebut dapat menjadi pembinaan dan pendidikan serta bimbingan semua pihak
diharapkan agar anak tersebut dapat terus berkembang kearah yang baik dan tidak
mengulangi tindakannya kembali.
Lembaga pemasyarakatan
anak sebagai tempat pembinaan narapidana anak, lembaga tersebut diharapkan
dapat memberikan proses pembinaan yang baik agar anak dapat menjadi anggota
masyarakat yang baik setelah selesai menjalankan pembinaan. Pembentukan dan
pengembangan keikut sertaan lembaga-lembaga tersebut dalam upaya memberikan
perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum.
Lembaga-lembaga
tersebut diharapkan dapat memberikan perlindungan, pembinaan, perawatandan
pendidikan. Selanjutnya dalam upaya perlindungan terhadap anak diperlukan
adanya kerjasama antara lembaga sosial dan lembaga pemerintah lainnya yang
mempunyai kepedulian terhadap anak. Dalam pasal 5 UU No.12 tahun 1995 tentang
pemasyarakatan yang menyatakan bahwa pelaksanaan sistem pemasyarakatan
dilaksanakan berdasarkan atas:
1. Pengayoman
2. Persamaan
perlakuan dan pelayanan
3. Pendidikan
4. Pembimbingan
5. Penghormatan
harkat dan martabat manusia
6. Kehilangan
Kemerdekaan
7. Terjamin
hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Sesuai dengan tugas
dan fungsi lembaga melaksanakan pembinaan terhadap para terpidana agar siap
untuk dapat berintegrasi kembali dengan masyarakat dan menjadi masyarakat yang
baik dan taat hukum. Program pemasyarakatan bagi narapidana anak bertujuan agar
anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya
dan tetap dapat menjalani kehiduan secara normal. Program yang dibuat dalam
lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan kerja sosial dan aktivitas yang dapat
mengembangkan kemampuan anak dimasa depan.
Para pelaku anak yang
melakukan tindak pidana serius yang berada dilembaga pemasyarakatan anak tetap
disediakan fasilitas pengembangan kemampuan seperti hobi, pelatihan keterampilan,
bimbingan/konseling dan kegiatan mental lainnya semaksimal sesuai dengan
kemampuan lembaga. Untuk pendidikan disediakan sekolah khusus didalam lembaga.
Tujuannya agar anak tetap dapat melanjutkan sekolahnya dan mempersiapkan
keterampilan kerja untuk bekal selesai menjalani pembinaan.
Di Indonesia anak yang
dibina dilembaga khusus, anak dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
a. Anak pidana,
yakni anak yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan dijatuhi pidana
perampasan kemerdekaan
b. Anak negara, yakni seorang anak yang
diputus bersalah oleh pengadilan yang diserahkan pada negara untuk dididik
sampai dengan usia 18 tahun.
c. Anak sipil, yakni anak yang berdasarkan
permintaan orang tua/walinya memperoleh penetapan dari pengadilan negeri,
dititipkan ke lembaga pemasyarakatan khusus anak.
3.1 Tahapan
Pembinaan Narapidana atau Tahanan Anak
Pembinaan terhadap
anak sesuai dengan keputusan menteri kehakiman N0.2-PK04.10 tahun 1990 tentang
pola pembinaan narapidana atau tahanan anak dilakukan dalam 4 tahap yaitu:
Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap maximum security
yaitu 0-1/3 masa pidana. Pengawasan pada tahap ini cukup ketat dikarenakan
pembina belum mengetahui akan sifat, watak dan perilaku dari narapidana
tersebut. Tahap ini diawali dengan tahap admisi dan orientasi. Tahap admisi dan
orientasi dimulai sejak seorang anak memasuki lembaga yang dilengkapi dengan
surat lengkap (vonis), lama pidananya dan untuk penentuan tanggal bebasnya.
Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah pengenalan lembaga, pengenalan
petugas lembaga, penjelasan mengenai hak dan kewajiban anak didik dilembaga dan
penyidikan mengenai identitas pribadi narapidana, pendidikan narapidana yang
terakhir, pekerjaan, keadaan lingkungan rumah tempat tinggal, lingkungan
masyarakat, lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah dan motif pidana
(sebs-sebab mengapa melakukan tindakan pidana yang diancam oleh UU). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh pihak pembina tersebut penting dalam upaya
penyusunan program pembinaan dan pekerjaan apa yang sesuai dengan diri
narapidana anak tersebut. Waktu tahap admisi untuk anak tahanan 1(satu) minggu
sedangkan untuk anak negara, anak didik, dan anak sipil adalah 1(satu) bulan.
Pada pelaksanaan tahap ini sangat diperlukan social inquiry reports yang dibuat
oleh Bapas sehingga tidak perlu penelitian ulang. Namun dalam kenyataannya
terkadang ada narapidana yang pada saat putusan pengadilan tidak melampirkan
penelitian dari bapas dan hal ini merupakan kendala sehingga pembina harus
melakukan pendataan ulang.
Tahap Kedua
Tahap ini dilaksanakan pada saat 6 bulan
pertama untuk anak negara dan sipil dan untuk anak narapidana anak dilakukan
antara 1/3 sampai ½ masa hukuman. Tahapan ini merupakan tahap medium security,
karena pengawasan pada tahap kedua ini tidak seketat pada tahap pertama. Pada
tahap kedua ini pengawasan dilakukan hanya untuk mengetahui bagaimana
narapidana anak menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan peraturan yang
berlakudalam lembaga. Untuk itu dalam tahapan ini telah diadakan evaluasi
terhadap program tahap pertama. Tahap kedua ini narapidana telah memperoleh
pendidikan umum, pendidikan mental, pendidikan sosbud, pendidikan kepribadian,
pendidikan kepribadian, pendidikan keterampilan, dan bekerja dalam lapas.
Tahap ketiga dikenal dengan tahap asimilasi
yaitu narapidana mendapatkan pembinaan dengan kesempatan untuk melakukan kerja
pada tempat latihan milik lapas diluar lingkungan lapas seperti kegiatan
perkebunan diluar lapas.
Usia anak negara dan anak sipil yang berada
pada tahap ketiga ini adalah dimulai 6 (enam) bulan kedua, sedangkan untuk anak
narapidana saat menjalani ½ sampai 2/3 masa hukuman. Pada tahap ini anak
dididik diperkenalkan dengan jati diri anak itu sendiri secara lebih mendalam
meliputi kecerdasan mental dan iman. Mulai diperkenalkan dengan masyarakat
sekeliling lembaga melalui jalan olah raga, pramuka dan sebagainya.
Tahap Keempat
Tahap ini disebut tahap integrasi,
dilaksanakan terhadap anak negara dan anak sipil pada 6 (enam) bulan keempat,
sedangkan pada anak narapidana dlaksanakan setelah menjalani 2/3 masa
hukumannya sampai habis masa pidananya. Pada tahap ini pengawasan sangat kurang
(minimum security) dan bagi anak didik yang betul-betul telah sadar dan
berkelakuan baik berdasarkan pengamatan tim pengamat pemasyarakatan, mereka
dapat mengusulkan:
a. Cuti
Biasa
Yaitu cuti yang diberikan kepada anak didik,
baik anak narapidana maupun anak negara selama 2 (dua) minggu atau permohonan
dari orang tua/wali didik anak, setelah waktu tersebut , mereka harus kembali
masuk lembaga.
b. Cuti
Menjelang Bebas
Yaitu cuti yang diberikan pada anak sipil atau anak negara
menjelang anak tersebut berusia 17 tahun enam bulan sampai dengan 18 tahun,
sedangkan pada anak pidana setelah 2/3 ke atas masa hukumannya sampai
habis pidananya.
c. Pelepasan
Bersyarat
Diperuntukkan bagi anak narapidana dilaksanakan dengan ketentuan
pasal 15 sampai dengan pasal 17 KUHP. Bagi anak didik yang memperoleh cuti
menjelang lepas ataupun pelepasan bersyarat, berada dibawah pengawasan ketat
dari Bispa disamping pernyataan orang tua/wali untuk benar-benar mendidik dan
mengawasi mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari anak didik kembali ke
lembaga sebagai residivis, inilah pentingnya pembinaan sesuai pasal 277 dan 280
KUHAP.
Lamanya pembinaan anak didikdi lembaga
ditentukan anak didik dengan status anak negara paling lama sampai usia 18
(delapan belas) tahun dan anak didik dengan status narapidana 21 (dua puluh
satu) tahun. Bagi anak narapidana yang belum selesai menjalani masa
hukumannyadi lembaga mengingat saat melakukan hukuman usia 12 (dua belas)
sampai usia 18 (delapan belas) tahun atau dijatuhkan hukuman 4-15 tahun.
Setelah anak berusia 21 tahun, harus menghabiskan sisa masa hukuman di LP
dewasa.
Aparat penegak hokum yang terkait dalam sistem
peradilan anak, memikirkan kembali untuk tidak menghukum akan tetapi mengambil
tindakan lainnya. Hukuman terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan
hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan
tindak pidananya. Ganti rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan
oleh sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar
sejumlah uang atau kerja, baik langsung maupun penggantinya.
Ganti rugi yang paling sesuai untuk anak
adalah kerja proyek masyarakat dibandingkan dalam bentuk ganti rugi uang.
Seorang anak yang diputus untuk ganti rugi oleh pengadilan dapat dimasukkan
kedalam program kerja secara berkelompok dengan teman-teman yang lain. Ganti
rugi dengan kerja proyek akan melatih anak untuk bersikap jujur dan bertanggung
jawab atas hukuman yang diberikan kepadanya. Bentuk dari hukuman berupa sanksi
ganti rugi ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan hokum pidana untuk anak
dalam rangka perlindungan anak yang berkonflik dengan hukum.
4. Tanggung Jawab
Orang Tua Jika Anak Melakukan Tindak Pidana
Menurut Pasal 1 angka 1Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dari segi hukum pidana bagi anak
yang mengendarai kendaraan bermotor hingga menghilangkan nyawa korban
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 310 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”):
(3) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka
berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia, di pidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Ancaman pidana tersebut berlaku bagi
mereka yang sudah dewasa, sedangkan ancaman pidana penjara bagi anak yang
melakukan tindak pidana adalah setengah dari maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang yang sudah dewasa sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal
26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”). Dengan demikian, anak yang
mengemudikan kendaraan bermotor karena kelalaiannya hingga mengakibatkan orang
lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara setengah dari ancaman
pidana bagi orang dewasa (enam tahun), yakni paling lama tiga tahun penjara.
Lalu, bagaimana jika dilihat dari
sisi orang tua? Apakah orang tua bisa dipidana jika membiarkan anaknya
mengemudi kendaraan? Menurut Pakar Hukum
Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir sebagaimana kami kutip dari artikel Pakar: Tanggung Jawab Pidana Tak Bisa Dialihkan, asas hukum pidana
secara tegas mengatur bahwa tanggung jawab pidana itu tidak bisa dialihkan
kepada orang lain. Termasuk, jika pengalihan itu diberikan kepada keluarga si
pelaku tindak pidana.
Prinsip Tanggung Jawab Pidana, dalam Pasal 55 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) ditegaskan bahwa pelaku
tindak pidana yang bisa dikenakan pidana adalah:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan
sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan.
Dengan demikian, tindak pidana
mengendarai kendaraan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain yang
dilakukan oleh anak tidak bisa dialihkan pertanggungjawaban pidananya kepada
orang tuanya. Hal ini didasari prinsip tanggung jawab pidana dalam KUHP yang
kami jelaskan tadi. Jadi, dalam hal ini perbuatan orang tua yang karena
kelalaiannya membiarkan anaknya mengendarai kendaraan dan menyebabkan
kecelakaan, tidak bisa dikenakan sanksi pidana.
Meski demikian, secara perdata orang
tua dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan anaknya. Hal ini diatur
dalam Pasal 1367 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHP”):
“Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang
kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka
dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.”
Jadi, dalam konteks hukum pidana
berdasarkan prinsip tanggungjawab pidana, tidak dimungkinkan bagi orang tua
untuk turut dipidana atas perbuatan yang dilakukan oleh anaknya. Akan tetapi, dalam
konteks hukum perdata, orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh anaknya.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan
semua perbuatannya karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol
dalam menilai tindakan yang dilakukannya.
2. Ada beberapa faktor
yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat penegak hukum antara lain
kurangnya perhatian keluarga, faktor pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi dibidang informasi dan komunikasi
serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua.
3. Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana
bukanlah hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi. Ganti rugi yang sesuai
untuk anak adalah kerja proyek.
4. Pelaksanaan konsep Diversi dan Restorative Justice memberikan
dukungan terhadap proses perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum. Sesuai dengan prinsip utama dari Diversi dan Restorative Justice yang
mempunyai kesamaan yaitu menghindarkan pelaku tindak pidana dari sistem
peradilan pidana formal dan memberikan kesempatan anak pelaku untuk menjalankan
sanksi alternatif tanpa pidana penjara.
5. Tujuan dari hukuman adalah untuk membina dan memperbaiki
sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis dan stabil. Proses hukum
haruslah mengedepankan aspek kemanusiaan terlebih lagi masalah pidana
anak. Hakim, jaksa, dan polisi diharapkan lebih bisa menggunakan hati
nurani ketimbang hanya berdasarkan pada landasan hukum formil semata.
2. Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan
tindakan, hal ini karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan
berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan
sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat
akhir dari tindakan yang di ambilnya. Oleh karena itu orang tua mempunyai
kewajiban untuk membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam
perkembangan kejiwaan anak.
2. Anak yang telah melakukan tindakan pidana harus segera
diperbaiki melalui tindakan yang benar-benar memperhatikan kesejahteraan dan
masa depan yang baik untuk anak. Tindakan yang diberikan kepada anak adalah
tindakan yang bersifat mendidik, guna memulihkan kembali kondisi anak tersebut
menjadi anak yang baik, bukan dengan hukuman pembalasan terhadap mereka setelah
menjalani peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt522d2ab21bd71/tanggung-jawab-orang-tua-jika-anak-melakukan-tindak-pidana
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl112/hukum-bagi-anak-bawah-umur
http://chacha3ipa5.blogspot.com/2012/05/hukum-pidana-pertanggung-jawaban-pidana.html
https://www.facebook.com/notes/ganti-hukum-buatan-manusia-dengan-hukum-allah/pidana-bagi-anak-anak-yang-bersalah-dalam-hukum-islam-dibebankan-kepada-walinya/392890478521
http://www.bantenhits.com/rumah-kata/opini/188-proses-peradilan-pidana-terhadap-anak-yang-berhadapan-dengan-hukum.html